Belajar dari Tragedi Leuwigajah




ini adalah bekas TPA Leuwigajah yang sudah tidak digunakan lagi

dok. pribadi

Masih ingatkah Anda dengan peristiwa longsor sampah di Cimahi pada 2005 silam? Tragedi itu terjadi pada Senin, 21 Februari. Pada saat itu peristiwa yang ada di Cimahi merupakan topik yang banyak diberitakan oleh media di Indonesia dan media luar. Bagaimana tidak? Kejadian itu disebut-sebut sebagai kejadian longsor sampah kedua terbesar di dunia setelah peristiwa di TPA Payatas, Quenzon City, Filipina pada Juli 2000 yang telah memakan korban sebanyak 200 orang. Selain menjadi perbincangan media, peristiwa itu dapat menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan sampah agar kejadian yang tak diinginkan bisa dihindari.

Apa Kabar TPA Leuwigajah?

Leuwi Gajah pertama kali beroperasi tahun 1987, yang diresmikan oleh Menteri PU saat itu Ir. Radinal Muchtar. Total luas lahan TPA ini 17 Ha dan jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota Bandung. Peristiwa longsor sampah itu menimpa dua kampung yaitu Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung serta Kampung Pojok, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, dua kampung itu langsung tersapu bersih oleh longsor sampah, bangunan-bangunan runtuh dan tertimbun sampah.

Tinggi gunungan sampah mencapai 50-70 meter, diakibatkan dari guyuran hujan terus menerus selama dua hari dan air hujan membuat gas metan yang ada pada tumpukan sampah sudah tidak tertahan dan memicu ledakan, maka meledaklah gunungan sampah tersebut, sampah anorganik berupa plastik, gabus, kayu, hingga sampah organik turun ke permukiman warga seperti gelombang tsunami. Permukiman yang terkena longsoran sampah terseret hingga sekitar 1 kilometer jauhnya. (Pikiran Rakyat.com)

Jumlah korban yang meninggal 157 orang, selain nyawa yang hilang, harta benda warga yang selamatpun ikut hilang. Kejadian tersebut menjadi musibah yang tercatat pertama kali dalam sejarah di Indonesia, longsor sampah dan menyebabkan ratusan nyawa melayang gara-gara tertimbun sampah. Tidak sedikit orang yang terpisah dengan kerabatnya, seperti Daya, 40 tahun, seorang warga Desa Batujajar yang berprofesi sebagai tukang ojek yang merupakan korban selamat dari kejadian longsor sampah, yang kami temui di pangkalan ojek dan bersedia mengantar kami berkeliling di TPA Leuwigajah dan sekitarnya. Ketika sampai di rumah salah satu warga, ia mulai bercerita mengenai kronologis ceritanya, dan menceritakan beberapa anggota keluarganya yang menjadi korban. Ia pun bercerita jika korban tewas yang ia ketahui saat itu sebanyak 137 orang dan masih ada 8 orang yang hingga saat ini belum ditemukan.

 Ia mengatakan tragedi tersebut terjadi pada 21 Februari 2005 pukul 2.00 WIB ketika sedang menonton sepakbola di televisi. Selama dua hari dua malam hujan tidak berhenti, kemudian ia merasakan ada getaran dan tak lama dari getaran tersebut ada suara gemuruh. Ia pun berlari keluar untuk mengecek keadaan, ternyata terjadi longsor sampah dari TPA Leuwigajah. Ia berusaha memberitahu kepada tetangga dan warga lain dengan mengetuk pintu tiap rumah, lalu ia ingat dengan anggota keluarganya yang berada di sebelah yaitu kampung Cilimus. Namun, ia tak sempat memberitahu dan menyelamatkan anggota keluarganya. Karena longsor sampah sudah menimbun kampung Cilimus dengan cepat. Ia pun hanya bisa pasrah dan menyelamatkan diri sendiri ke dataran tinggi.

Keesokan harinya tanggal 22 Februari 2005, Daya membantu tim pencarian korban. Ia pun mamakai sepatu boot, bajunya tampak kotor karena turun untuk mencari korban dari timbunan sampah. Menurutnya, timbunan sampah masih terasa panas di kaki, sehingga kakinya kepanasan karena efek dari gas metan, selain itu korban yang tertimbun sampah, keadaannya mengenaskan, yakni terkena panas gas metan yang menyebabkan tubuh korban hitam seperti terbakar, dan juga beberapa jenazah yang ditemukan, anggota tubuhnya tidak lengkap. Misal, kakinya hilang dan ada yang ditemukan separuh badan saja. Proses evakuasi jenazah berlangsung secara alot, karena terganjal medan yang sulit yaitu timbunan sampah beserta air hujan yang bercampur dengan sampah, mengambil mayatnya saja ada tiga tahap saking dalamnya sehingga sulit menemukan jenazah.

 

Warga yang selamat kemudian diungsikan ke ruang kelas di SDN 2 Batujajar. Sementara para siswa di SD tersebut diliburkan. Warga yang menjadi korban pun langsung mendapat bantuan dari berbagai pihak, seperti dari pemerintah, dan dari warga di luar Leuwigajah. Bantuan dari pemerintah, menurut Daya yaitu dengan dibebaskannya wilayah tersebut, boleh digunakan oleh warga untuk berkebun dan lain-lain asal tidak merusak lahan tersebut dan tidak digunakan untuk hal yang tidak bermanfaat. “Selain itu warga yang menjadi korban juga diberi ganti rugi berupa uang” ujar lelaki 40 tahun itu.

 

Bani Awan, 50 tahun, seorang Dinas Kebersihan Kota Cimahi yang kami temui dirumahnya menjelaskan jika sampah yang ada di TPA Leuwigajah saat itu tidak dikelola dengan benar, karena sistem pengelolaan yang ada di TPA menggunakan sistem open dumping, “tidak ada daur ulang atau pemilihan sampah” ujarnya.

Istilah  open dumping ialah sampah yang datang dari berbagai wilayah yang dibuang ke TPA Leuwigajah tidak dilakukan pemilihan sampah antara organik dan anorganik. Semua langsung dibuang begitu saja, padahal dalam sampah organik jika diolah maka akan menghasilkan gas metan. Tragedi yang terjadi di TPA Leuwigajah juga diakibatkan karena dari gas metan yang ada pada sampah kemudian tidak diolah dengan baik dan guyuran hujan yang memicu adanya ledakan.

Setelah 13 tahun berlalu, TPA Leuwigajah saat ini kondisinya dibiarkan tanpa ada pengelolaan karena sudah tidak digunakan kembali. Ketika kami datang ke TPA, terdapat tulisan yang cukup menarik perhatian. Tulisan tersebut dipasang disebuah bangunan yang dulunya menjadi tempat jaga. Tulisan tersebut cukup mencolok, tulisannya ialah KAULA NOLAK RUNTAH, SAHA ANU NGARUMPAK PEK TARIMA BINASANA jika diartikan intinya ialah bahwa warga setempat menolak jika TPA kembali difungsikan, jika tetap difungsikan maka akan terima balasannya.

Dari tulisan tersebut jelas warga tidak mau jika TPA kembali difungsikan, warga masih merasa trauma dan mereka juga tidak mau jika hal yang sama terulang kembali. Warga telah menyarankan jika lebih baik TPA Leuwigajah dijadikan tempat wisata, namun belum ada respon dari pemerintah.

Saat ini, warga yang tertimpa longsor sampah berpindah tempat dan tidak tinggal di kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Sebagian warga ada yang merantau ke daerah lain, karena untuk menghindari dan tidak teringat kejadian longsor sampah tersebut, yang menjadi kenangan pahit bagi warga yang selamat, maka warga yang selamat sebagian ada yang masih menetap di kawasan tersebut.

Beberapa tahun setelah kejadian longsor sampah itu, pemerintah membiarkan begitu saja sampah-sampah yang turun ke pemukiman warga, tidak ada tindak lanjut apapun hingga sekarang. Sisa tumpukan sampah mulai tertutupi tanaman liar, dan tanaman yang ditanami oleh warga dengan memanfaatkan lahan yang tidak dikelola menjadi perkebunan, “biasanya warga memanfaatkannya dengan menanam singkong, pisang, dan lain-lain” ujar Bani. Karena pemerintah membolehkan lahan tersebut dimanfaatkan.

Keadaan di TPA Leuwigajah sekarang menjadi kawasan hijau. Warga ada yang senang ada yang tidak dengan kejadian tersebut. Bagi warga yang senang dengan adanya kejadian longsor sampah, maka warga tidak akan terganggu dengan bau sampah dan penyakit lainnya. Sedangkan, bagi warga yang tidak senang dengan ditutupnya TPA Leuwigajah, karena mata pencaharian mereka sebagai pemulung harus berhenti.

Bani juga mengatakan jika setiap 21 Februari, warga selalu mengadakan shalat istigosah sebagai bentuk pengingat bahwa pada saat itu telah terjadi peristiwa yang sangat dahsyat dan warga juga mendoakan arwah para korban yang tertimbun sampah. Tragedi longsor sampah TPA Leuwigajah sampai saat ini masih membekas pada ingatan warga dan menjadi pengingat bahwa sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. Ratusan korban jiwa, dua kampung tertimbun sampah, serta menjadi tragedi tersebut menjadi bencana nasional oleh karena itu setiap 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Hingga saat ini pun pemerintah belum melakukan penanganan terkait TPA Leuwigajah.  Warga berharap agar pemerintah turun tangan untuk menangani lahan tersebut, warga juga berharap pemerintah membuka lapangan pekerjaan jika nanti lahan tersebut akan difungsikan.

Pengelolaan Sampah Leuwigajah dan Sarimukti

Setelah peristiwa longsor sampah di TPA Leuwigajah, pemerintah mulai mencari TPA lain untuk menggantikan TPA Leuwigajah. Kemudian dipilihlah TPA Sarimukti yang Blok Gedig Rph Bandung Utara Desa Sarimukti Kec. Cipatat Kab. Bandung Barat. TPA Sarimukti pada awalnya sebagai TPA untuk penanggulangan darurat sampah sebagai solusi krisis pengelolaan sampah sejak longsornya TPA Leuwigajah tanggal 21 Pebruari 2005. Kevakuman TPA Leuwigajah bagi Kota Bandung dan Kota Cimahi, menimbulkan dampak “Bandung Lautan Sampah”. Sehingga menjadi perhatian semua pihak termasuk  Departemen dan RI 1, mendorong Gubernur untuk menyelesaikan permasalahan sampah.

TPA Sarimukti memiliki beberapa kelebihan dan bisa meminimalisir terjadinya longsor sampah 2005 silam yaitu jauh dari pemukiman. Pengelolaan yang dilakukan bisa mencegah adanya ledakan dari gas metan, pengelolaannya lebih baik dibanding TPA Leuwigajah, jam operasinya pun dibatasi. Struktur Organisasi TPA Sarimukti jelas dan tersusun, tidak seperti di TPA Leuwigajah struktur organisasinya tidak jelas.

Sepanjang jalan menuju TPA, terdapat saung-saung dibeberapa titik yang digunakan warga untuk memilah sampah, ada sampah plastik, sampah rumah sakit, dan lain-lain. Berbeda ketika masih dalam perjalanan, bau busuk sampah sangat kuat tercium, namun ketika memasuki kawasan TPA justru bau sampah tidak terlalu tercium, padahal truk yang memuat sampah sering berdatangan dan lokasi pembuangan sampah yang cukup luas dan setiap menit truk sampah selalu datang untuk membuang sampah ke TPA Sarimukti.

Luas dari TPA Sarimukti adalah 21,2 hektare (Tanah Perhutani) dan 4 hektare (Tanah Milik), dan mulai digunakan sejak 28 Mei 2006 untuk menampung sampah dari kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Di TPA Sarimukti terdapat 4 zona yang telah digunakan yaitu Zona 1 digunakan pada 28 Mei 2006 hingga 14 Januari 2008 dengan kapasitas 700.000 m3, Zona 2 digunakan dari 15 Januari 2008 hingga 30 November 2009 kapasitas yang ditampung 88.594 m3, kemudian Zona 3 digunakan sejak 15 Januari 2008 hingga 30 November 2009 bisa menampung sampah hingga 369.670 m3, dan saat ini Zona 4 digunakan sejak 1 Desember 2009 dengan kapasitas sampah mencapai 804.373 m3.

Menurut Ikrar Rayadi, 29 tahun, selaku koordinator umum dan sumberdayaan di TPA Sarimukti bahwa sistem pengelolaan sampah di TPA Sarimukti menggunakan sistem control landfill yaitu sampah yang sudah dirapihkan oleh alat berat kemudian diratakan dan ditutup oleh tanah. Durasi waktu untuk menutup sampah dengan tanah bisa dua minggu sekali bahkan satu bulan sekali.

Berbeda dengan sistem yang digunakan di TPA Leuwigajah yang memakai sistem open dumping yaitu dengan membuang sampah tanpa ada pengolahan dan tanpa adanya ditutup dengan tanah, sistem yang digunakan oleh TPA Sarimukti bisa lebih aman digunakan karena gas yang ada dalam sampah disalurkan melalui pipa sehingga gas yang keluar bisa lebih mudah. Serta jadwal operasional di TPA Sarimukti tidak 24 jam seperti TPA Leuwigajah saat masih beroperasi yaitu hanya dari jam 3 pagi hingga jam 6 sore. Setiap harinya TPA Sarimukti menampung 1.800 ton sampah per hari yang berasal dari empat wilayah yaitu Kota Bandung menghasilkan 1.100 ton sampah yang dibuang ke TPA Sarimukti, Kota Cimahi 250 ton sampah per hari, Kabupaten Bandung Barat 250 ton sampah per hari, dan Kabupaten Bandung sebanyak 200 ton sampah per hari.

Selain pengolahan dengan sistem control landfill, ada juga pengolahan air lindi dan pengomposan. Yang dimaksud dengan air lindi ialah air yang terbentuk dari air hujan yang menyerap ke dalam landfill melalui proses pengelolaan sampah dengan berwawasan lingkungan. Air lindi di TPA Sarimukti dibuang ke sungai. Menurut Ikrar, air tersebut sudah aman untuk dibuang ke sungai karena diolahnya tidak menggunakan kimia yang akan merusak makhluk hidup di sungai meski warna yang dihasilkan berwarna hitam dan setiap satu bulan sekali Balai Pengujian Mutu Konstruksi dan Lingkungan (BPMKL) datang untuk meneliti apakah kandungan air tersebut bahaya atau tidak.

Terdapat kegiatan di TPA Sarimukti kegiatan penempatan/penataan sampah : penataan sampah saat ini di zone 2/3 dan zona 4; sampah ditata pada sel harian setinggi  1,5 meter; peralatan yang digunakan berupa bulldozer untuk meratakan dan memadatkan sampah; Excavator  untuk menata dan menimbun sampah dengan tanah. Zone 1 sudah tidak digunakan lagi untuk penempatan sampah sejak 14 januari 2008 : Volume sampah ± 700.000 m3, daya tampung sudah maksimal, luas  4,75 ha. Penutupan sampah dengan tanah dan penghijauan. Kegiatan lainnya yaitu melakukan pengomposan sampah organik, yang mulai dilakukan pada 1 Mei 2008 hingga sekarang. Metode pengomposan dengan cara: (1) Aerobik yaitu pengomposan ditumpuk tanpa ditutup plastik; (2) Anerobik yaitu pengomposan ditutup plastik; (3) Zat aditiv yaitu dectro dan puyer, lama pengomposan + pematangan : 40 hari.

Kegiatan selanjutnya pengendalian dampak lingkungan dengan melakukan emantauan kegiatan penimbunan sampah dengan tanah untuk megurangi bau dan vector, pengendalian dan pemantauan dampak negatif dari pengolahan sampah (udara, air dan tanah), foging vektor lalat di tpa dan lingkungan terdekat TPA, penyemprotan minyak sereh truk sampah untuk mengurangi bau.

Dibandingkan dengan TPA Leuwigajah yang pengelolaannya tidak dilakukan dengan terencana, maka tumpukan sampah di Leuwigajah akhirnya meledak. Seakan berkaca pada kejadian di TPA Leuwigajah, TPA Sarimukti menerapkan system pengelolaan yang terencana. Bukan hanya untuk TPA Sarimukti, peristiwa yang menimpa Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki karena longsor sampah bisa menjadi pembelajaran bagi TPA lain agar pengelolaan sampah bisa lebih baik dan menjadi perhatian semua pihak agar permasalahan sampah bisa terselesaikan dan tidak terulang kejadian yang serupa.

Gas Metan dalam Sampah

Salah satu penyebab longsornya sampah di TPA Leuwigajah ialah karena adanya kandungan gas metan (CH4) dalam sampah. Menurut Dadang Rusbiantoro dalam bukunya Global warming for beginner: pengantar komprehensif tentang pemanasan global, Gas metan atau metana merupakan gabungan kimia antara unsure formula molekul CH4. Metana juga merupakan gas alam yang utama. Metana dihasilkan secara alami oleh bakteri yang dihasilkan oleh sampah.

            Mia Miranti Rustama, dosen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Padjadjaran mengemberikan pendapatnya mengenai gas metan. Menurutnya, sampah di TPA Leuwigajah tidak dipilah antara sampah organik dan anorganik. Sampah organik seperti sampah buah-buahan, sayuran kemudian tercampur dengan sampah anorganik seperti bekas botol minuman, Styrofoam, besi, dan lain-lain.

“Sampah sudah tercampur semua. Kalau sampah anorganik merupakan sampah yang sukar diuraikan oleh mikroorganisme, kalau sampah organik itu mudah diuraikan, karena terdapat karbohidrat dan lemak untuk kebutuhan mikroorganismenya” ujarnya

Tumpukan sampah yang sudah tercampur dalam kondisi anaerob atau tidak terdapat oksigen. Ketika bakteri anaerob melakukan fermentasi atau istilah yang digunakan yaitu sedang makan sampah organik akan menghasilkan gas metan. Ketika bakteri melakukan fermentasi dan merobak makanan bahan organik maka akan menghasilkan gas. Namun yang terjadi di TPA Leuwigajah, gas yang seharusnya keluar tetapi karena terperangkap sampah-sampah anorganik dan terus menerus tertimbun maka ledakan tersebut terjadi. Selain karena gas yang tak dapat keluar pada saat kejadian terjadi hujan terus menerus selama dua hari, hal tersebut juga mempengaruhi adanya ledakan.

“Ketika hujan masuk (kedalam tumpukan sampah), sampah organik mudah terurai, mikroba bisa mengurai sampah organik kalau ada air hujan. Tetapi proses hasil fermentasinya ini yang menghasilkan gas metan” tuturnya.

Bisa dibayangkan jika gas yang terus menerus diproduksi namun tidak ada tempat keluarnya maka gas yang ada dalam sampah bisa meledak. Sebenarnya air hujan bisa membantu dalam proses fermentasi. Namun di TPA Leuwigajah tidak ada saluran untuk mengeluarkan gas metan. Sehingga gas yang ada dalam sampah terus tertimbun. Kemudian air hujan juga bisa melarutkan logam-logam, sampah plastik bekas pestisida, bekas botol spray, akan menghasilkan air lindi. Menurut Mia, air lindi merupakan salah satu sisa campuran logam berat yang terlarut oleh air hujan dan jika dibuang ke sungai makan akan berbahaya bagi ekosistem yang ada di sungai tersebut. Sebenarnya air lindi yang dibuang ke sungai memiliki ambang batas, untuk mengetahui kualitas air maka ada istilah perhitungan Biological Organic Demand (BOD) dan Chemicel Organic Demand (COD) yang artinya COD oksigen yang digunakan untuk proses reaksi kimia, BOD oksigen yang secara biologis digunakan untuk mikroorganisme.

BOD adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai.

COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990; Metcalf & Eddy, 1991), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi.

 “Air lindi yang ada di TPA Sarimukti sudah mengalami proses perombakan oleh mikroorganisme, meskipun air lindi yang dibuang ke sungai masih berwarna hitam tetapi selama COD dan BOD masih rendah maka tidak berbahaya” ujar Mia.

Berdasar pada Jurnal Biology Science and Education 2014 oleh Wa Atima, dosen pendidikan Biologi Fakultas, IAIN Ambon. Metode pengukuran BOD dan COD Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan. Pengukuran BOD memerlukan kecermatan tertentu mengingat kondisi sampel atau perairan yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan diperlukan penetralan pH, pengenceran, aerasi, atau penambahan populasi bakteri. Secara rinci metode pengukuran BOD diuraikan dalam APHA (1989), Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991) atau referensi mengenai analisis air lainnya. Karena melibatkan mikroorganisme (bakteri) sebagai pengurai bahan organik, maka analisis BOD memang cukup memerlukan waktu.

Metode pengukuran COD sedikit lebih kompleks, karena menggunakan peralatan khusus reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dan titrasi (APHA, 1989, Umaly dan Cuvin, 1988). Walaupun jumlah total bahan organik dapat diketahui melalui COD dengan waktu penentuan yang lebih cepat, nilai BOD masih tetap diperlukan. Dengan mengetahui nilai BOD, akan diketahui proporsi jumlah bahan organik yang mudah urai (biodegradable), dan ini akan memberikan gambaran jumlah oksigen yang akan terpakai untuk dekomposisi di perairan dalam sepekan (lima hari) mendatang. Lalu dengan memperbandingkan nilai BOD terhadap COD juga akan diketahui seberapa besar jumlah bahan-bahan organik yang lebih persisten yang ada di perairan.

Dalam rangka konservasi lingkungan, pemerintah telah menetapkan baku mutu limbah cair yang dihasilkan oleh berbagai industri dan kegiatan lainnya dalam suatu Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Menurut konsep dan pengertiannya baku mutu air pada sumber air yang disingkat baku mutu air, adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun air tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.

Seperti yang disampaikan oleh Ikrar Rayadi, 29 tahun, selaku koordinator umum dan sumberdayaan di TPA Sarimukti, air lindi yang dihasilkan tidak diolah dengan tidak dengan cara kimia, karena nanti akan mencemari ikan.

“Kita menggunakan sistem biologi dengan bakteri”, ujar Ikrar

Air lindi di TPA Leuwigajah sama halnya dengan gas metan, tidak ada penanganan dan tindak lanjut pemanfaatan, melainkan dibiarkan begitu saja. Warna  pada  air  lindi  merupakan  parameter penting dalam  proses pengolahan. Penampakan visual air lindi  TPA  Sarimukti nampak  hitam  pekat. Hal  ini mengindikasikan  adanya  kandungan  bahan  organik alami  yang  sangat  tinggi  terutama  Asam  Humad, Asam  Fulvic  dan  Humid (Zularisam  dkk., 2006). Perubahan  warna  setelah  proses  ozonasi  menjadi kuning  cerah  menunjukkan  terjadinya  pemutusan ikatan  pada  Asam  Humad  dan  Humid  yang memudarkan  warna  kehitaman.  Air  lindi  yang berwarna kuning  berasal  dari  Asam  Fulvic.  

Bakteri yang berkembang biak dalam sampah organik sangat cepat yaitu setiap 20 menit maka baktei akan berjumlah dua sel, karena adanya pembelahan. Bagaimana bakteri ini memproduksi gas metan? Selama bakteri berkembang biak, maka bakteri akan menggunakan bahan organik dan menghasilkan gas. Gas metan yang menyebabkan TPA Leuwigajah bisa meledak karena bertahun-tahun menumpuk dalam sampah. Selama bahan organik yang tersedia mencukupi kebutuhan mikroba penghasil metan maka bakteri akan terus menghasilkan gas.

Jika dikelola dengan baik, gas metan yang dihasilkan oleh mikroba bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar, salah satunya biogas seperti yang dihasilkan dari kotoran sapi dan lainnya, jika didiamkan dalam plastik yang tertutup dan menghasilkan gas. Menurut Mia, gas tersebut bisa digunakan untuk memasak yang sama seperti gas alam tetapi hasil dan produksinya dari mikroba. Seperti yang dilakukan oleh TPA Sarimukti, tumpukan sampah yang mengahsilkan gas metan akan disalurkan melalui pipa  sehingga kemungkinan terjadinya ledakan terasa kecil.


Komentar